Lanjut ke konten

Dilema Penerapan Asas pembuktian terbalik (omkering van het bewijslat)

Agustus 27, 2010

Setelah sekian lama disibukkan dengan tugas-tugas Kuliah,mulai dari ujian semester,PKL,dll..akhirnya bisa juga menyempatkan sedikit waktu untuk menulis di blog tercinta ini..

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari hasil diskusi yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta dalam acara ,dimana menghadirkan bebarapa pakar Hukum antara lain Mahfud MD (Ketua MK),Gayus Lumbun dan beberapa anggota Komisi III DPR,Ketua PPATK,Mantan Ketua KPK,Para Advokat senior dan Terkenal, dan masih banyak pakar Hukum lainnya.Menarik memperhatikan diskusi untuk kali ini,dimana panelis mengambil tema tentang Penerapan asas pembuktian terbalik yang menuai pro contra diberbagai kalangan. Apakah sebenarnya sistem ini layak diterapkan di Indonesia?

Bicara tentang penerapan asas pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi pemikiran kita minimal tertuju pada  kegunanaannya untuk meminimalisir korupsi yang ada di negeri ini dan finalnya untuk memberantas korupsi dari akar-akarnya. Arti penting yang lain adalah :

Pertama, Asas pembuktian terbalik perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang  Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengimbangi undang-undang yang mewajibkan setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka. Sebab, undang-undang tersebut tidak match dengan sistem hukum pidana yang kita miliki saat ini.

Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini belum bisa membuat tuntutan jika ada pejabat yang harta kekayaannya terindikasi tidak wajar. Itu kelemahan dalam sistem hukum kita. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diakomodasi, tetapi tidak fungsional. Bahkan terhadap para penyelengara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa.

(Rudini Silaban.Red)

Pada dasarnya diatas sudah sedikit diuraikan bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia, hakim masih merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam UU no 8 Tahun 1981 khususnya dalam hal pembuktian.

Sejarah

Pengucapan istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak. yang pada dasarnya beban pembuktian Universalnya berada pada pundak penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa.
Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”.

Sistematika pengaturan dalam KUHAP.

Dalam perkara pidana pengaturan masalah sistem pembuktian sesungguhnya sangatlah jelas. Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Sedang yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP, yaitu :

1)      Keterangan saksi

2)      Keterangan ahli

3)      Bukti  Surat.

4)      Bukti  Petunjuk

5)      Keterangan terdakwa

Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :

“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) ? TPK merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang no 31 tahun 1999.

Dalam pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu). Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum.

Dalam Undang- undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya.

Masalahnya

Minimal dari penerapan asas pembuktian terbalik saya mencatat ada beberapa permasalahan jika asas pembuktian terbalik diterapkan yaitu :

Masalah Yuridis :

1)      Hukum Acara Pidana digunakan dalam proses kejahatan korupsi, khususnya dalam hal pembuktian adalah UU no 8 Tahun 1981, Undang-undang tersebut tidak mengenal asas pembuktian terbalik hal ini terbuki dari uraian diatas.

2)       Asas ini sangat menusuk Hak Asasi Manusia apabila dikaitkan dengan asas “Presumption Of Innocence” atau asas praduga tak bersalah. Asas ini menghendaki apapun status pelaku kejahatan baik tersangka maupun terdakwa apabila hakim belum menjatuhkan putusan terbukti bersalah maka dia tidak patut untuk dipersalahkan.

3)      Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”

Masalah di Lapangan (Kemungkinan yg Terjadi di lapangan ) :

1)      Kemungkinan Proses Hukum bagi semua Pegawai PNS,karena logikanya kita sudah mengetahui berapa jumlah gaji yang diterima oleh seorang PNS beserta dengan tunjangan-tunjangannya,jika disinkronisasikan dengan beban yang dikeluarkan akan tidak sebanding dengan pendapatannya tersebut.misalnya mempunyai anak yang kuliah diluar negeri dan butuh uang yg benyak.Tentu ini akan sulit untuk dipertanggung jawakan. (Hotman Sitompul.SH)

2)      Kemungkinan terjadinya penyuapan kepada aparat penegak Hukum,karena beban pembuktian yang diserahkan kepada tersangka/terdakwa sendiri. (Mahfud.MD)

3)      Proses penanganan perkara yang sangat lambat,karena akan berbenturan dengan privasi.

21 Komentar leave one →
  1. Agustus 27, 2010 12:04 pm

    Yah pokoknya teruslah berantas korupsi di Indonesia. 👿

  2. sandhiez permalink
    September 2, 2010 7:48 am

    Artikel yang bagus mas..
    Btw klo butuh referensi UU NKRI, bisa kunjungi website
    http://undang-undang.web.id

  3. September 3, 2010 4:04 pm

    @ Asop : hahah..emang Q KPK…

    @ sandhiez : thanks atas infonya…nanti saya kunjungi…

  4. September 6, 2010 12:56 am

    Dengan mengetahui ilmunya makanya para koruptor dl,l pandai bila menjalankan aksinya,jadi bila teangkat gampang ddeh diatur..
    Makasih atas pencerahan hukumnya..
    Sukses selalu dengan PKL nya dan moga menghasilkan nilai yang diinginkan…
    Mauliate…dah mampir..

  5. September 6, 2010 3:19 am

    saya tidak terlalu mengerti hukum tata negara dan sebagainya tp yg pasti hayoo hajar koruptor di indonesia ni

  6. September 6, 2010 5:02 am

    @ Vulkanis : terimakasih juga atas kunjungan baliknya Lae…,PKL nya lancar koq

    @ Julicavero : terimakasih atas tanggapanya…

  7. September 6, 2010 6:15 am

    saya ikutan baca saja kurang mengerti dunia hukum yang seserius ini 🙂

  8. September 8, 2010 1:19 am

    Bung Rudini, tulisan-tulisanmu sungguh menarik dan progressif, kalau berkenan saya izin untuk mempublikasikan ulang tulisan-tulisanmu di web Jurnal Kolektif. Terkait kepemilikan tetap dipegang oleh si penulis itu sendiri. Web ini sekedar menjadi media rakyat dan pencerahan bagi negeri kita sendiri. Ataupun bahkan melihat kuantitas dan kualitas Bung Rudini dlm menulis diharapkan bisa menjadi kontibutor juga.

    Salam

    http://jurnalkolektif.blogspot.com/

    • September 9, 2010 8:37 am

      Silahkan saja bung dody,
      Toh,tujuan dari blog ini jg adalah untk memberikan pencerahan hukum bg masyrkt awam…
      Terimakasih.

  9. September 10, 2010 3:44 am

    Anti-korupsi selalu menjadi prioritas utama bagi negara-negara di dunia.

  10. September 10, 2010 3:48 am

    Mengapa ada korupsi, ini benar-benar harus mengejar masalah, bukan hanya pada masalah-masalah yang muncul dari penyelidikan korupsi, atau band atas pertanyaan itu. Hanya pemahaman yang nyata dari penyebab korupsi, dapat menghilangkan korupsi dari akar.

  11. September 12, 2010 1:52 am

    waduuuhhhh menone bener blank soal dunia hukum sob……. slam knl sobat

  12. September 13, 2010 8:19 am

    @ Polo RL : setuju sangat…
    @ Moncler Clothing : dengan hal tersebut pencegahannya bisa dilaksanakan…
    @ MENONE : salam kenal jg…Thanks dah mampir..

  13. Oktober 3, 2010 5:49 am

    semangat selalu
    duhai sang pembelajar 🙂

  14. Oktober 3, 2010 12:28 pm

    maaf baru sempat mampir, apa kabar?

  15. Oktober 5, 2010 12:23 pm

    achoey : thanks juga duhai pembelajar…hehehe

    Mila : Q baek2 aja..km gmn??

  16. Mei 22, 2011 9:01 am

    Though I don\’t agree with you in details, your post is insightful

  17. Agustus 16, 2011 4:34 am

    apa yang pak Rudini sampaikan sangat berarti buat pembelajaran hukum bagi masyarakat Indonesia biar kita tidak selalu menjadi manusia awan yang dikelabui oleh orang tau hukum dengan hukum, sehingga setiap orang punya hak dalam hukum tersebut dapat terwujud, adapun pendapat saya dalam hal pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian tersebut pada dasarnya kembali kepada integritas penegak hukum lah yang menentukan sebab tanpa adanya itegritas dalam menjalankan tugas apapun bentuk dan akan tetap menjadi sebuah simbol saja dan yang berperan penting lainnya adalah para bapak yang terhormat di lembaga tinggi negara DPR sebab UU itu berasal dari penetapan elit disana kalau tidak maka penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi tetap tidak akan berjalan.

  18. ali gtx permalink
    April 23, 2012 8:50 am

    bantai koruptor

Tinggalkan Balasan ke discounted christian louboutin Batalkan balasan